Rabu, 29 Februari 2012

Irama Nyanyian Dieng (Wonosobo)

Semua petualangan-petualanganku di mulai dari KKL 1 yakni di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo. Jujur saja aku hanyalah seseorang yang tidak menyukai petualangan atau sesuatu yang berbau alam, maklum aku tergolong anak Rumahan. Disaat aku harus meneruskan ke Perguruan Tinggi dengan jurusan yang berhubungan dengan alam. Awalnya aku kaget setengah mati kok seperti ini sistem perkuliahannya mewajibkan setiap semester agar KKL. Baik itulah pilihanku ..lucu sekali kalo Pendidikan Geografi adalah piihanku. Tepatnya adalah pilihan kakak ku Mz Uli, dia yang menyarankan jurusan ini. Dia yang membujukkku dengan buaian-buaian cerita tentang petualangan dia,  akhirnya aku selalu mengikuti kata-kata orang terdekat tanpa berfikir panjang untuk ke depan. Karena yang aku tahu, tidak mungkin kakakku sendiri menjerumuskan adiknya sendiri.
Akhirnya hari itu tiba juga keberangkatan ke Dieng, namun karena suatu hal yang menyedihkan kehilangan seseorang mengharuskan aku tidak dapat ikut dengan  teman-teman Mecarica. Aku mengikuti rombongan kelas lain, mungkin agak sedikit kaku dan canggung namun itulah aku harus bisa beradaptasi dengan siapapun dan dimanapun tanpa harus dengan teman sekelas. Tibalah aku di Dieng Plateau sambutan itu datang dari Gapura yang seketika tersenyum menyambut rombongan kita dari UNY. Sempat aku bertemu dengan teman-teman kelas, terbesit kesedihan dihatiku mengapa aku tidak dapat merasakan kebersamaan dengan teman kelas, namun aku hanya bisa tersenyum.
                         * Pintu Gerbang Wisata Dieng*
Malam datang, hawa sejuk dieng merasuk sampai ke Tulang. Inilah malam penting dalam hidupku, malam yang merubah statment orang tentang diriku yang sesungguhnya. Dieng berada di lereng pegunungan Serayu..hawa dingin di gunung mungkin sudah biasa bagi sebagian orang begitu pula diriku. Namun entah mengapa tiba-tiba tulang ini terasa kaku dan sulit digerakan..aku mencoba untuk berkata dengan tulangku..Ada apa dengan kamu tulang?mengapa kamu tidak dapat aku gerakkan?. Seketika itu aku sempat pingsan, sebenarnya aku sadar banyak orang yang memanggilku namun keinginan untuk bangkit terasa berat seperti ada batu besar dihadapanku. Pertama kali bagiku aku tidur dengan dibawah tubuhku terdapat bara arang yang menyembul..akhirnya aku sadar dengan bantuan Dosen Praktek Lapangan yang berpengalaman yakni Bapak Udia Hadori. Beliau yang membatu kakiku untuk bergerak, memijat, menggerakkan pelan-pelan serta mengatakan bahwa aku menderita “ALERGI DINGIN”. Sepersekian detik aku tersentak kok bisa??aku bukan seperti itu ..tulangku sehat dan kuat (Pernyataan anak kecil hehehe). Malam itu suhu di Dieng 13 derajat Celcius. Ternyata tempurung kakiku yang kanan ketika terkena hawa dingin langsung merengek kesakitan dan itu terjadi sampai sekarang..hati ini seketika merasa sebal dengan diri sendiri..(selalu merepotkan orang lain). 
                                 Danau di Dieng

Setelah berkeliling daerah Dieng serta mendengarkan penjelasan dosen dari mulai terbentuknya jalur Pegunungan Serayu serta adanya gunung dieng purba serta masih adanya aktivitas vulkanik dll. Membuka pengetahuanku akan teori-teori yang aku dapat di bangku kuliah dan inilah prakteknya untuk menerjemahkan istilah-istilah dalam buku panduan KKL 1 Dieng. Mencoba bangkit serta membiarkan tubuh ini beradaptasi dengan suhu udara di Dieng aku merangkak menuju Balkon Hotel untuk melihat pemandangan Dieng Plateau. Merasakan aroma udara dingin serta mencoba untuk mendengarkan nyanyian-nyanyian udara yang saling bertautan menambah rasa kegaguman ini terhadap salah satu ciptaan Tuhan. Mengamati aktivitas penduduk sekitar yang mencari sesuap nasi dengan bertani kentang, melihat pakaian mereka yang serba tebal serta wajah merah merona tercermin dari pipi gadis-gadis Dieng begitu lembut, cantik,polos dengan keramahan mereka pada pengunjung objek wisata Dieng Plateau.

Sudut kecil di Bromo


Perjalanan melelahkan,meletihkan aku mulai dari Yogyakarta. Kota yang terkenal dengan beragam budaya, kota pelajar serta keramah tamahan penduduknya. Awalnya perjalanan ini meragukan bagiku yang belum mendapat restu orangtua. Namun dengan keyakinan dan kemantapan akhirnya aku mendapat ijin dari kedua orangtuaku meskipun dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi setelah berlibur. Suara deruan kereta api dipagi hari serta suasana yang tergolong sepi distasiun meningkatkan adrenalinku untuk berpetualang. Lucu sekali ketika kata berpetualang aku sematkan pada diriku yang tergolong seseorang yang tidak menyukai perjalanan jauh. Namun dengan teman-teman yang memiliki hobi bertualang mendorong aku yang selalu berada di zona aman ingin seperti mereka yang mempunyai banyak pengalaman akan perjalanan bertualang.
Dalam gerbong kereta yang berderu-deru sambil melihat pemandangan luar yang menakjubkan dari mulai perbukitan, rumah-rumah penduduk, jalan raya yang sesak oleh kendaraan serta berbgai macam fenomena lainya. Hal yang paling aku sukai yakni ketika kereta melewati jembatan, suara gesekan rel kereta dengan struktur jembatan membuat suasana sedikit gaduh serta banyaknya penjual yang berlalu lalang bebas menjajakan barang jualannya yang terkadang diacuhakan oleh para penumpang, itulah keunikan perjalanan di kereta. Meskipun bersama teman- teman hanya menaiki kereta ekonomi, kebersamaan serta canda tawa mereka membuat hati senang. Beban perjalanan 8 jam tidak membuat kita merasakan lamanya menunggu sampai Kabupaten Purbolinggo.
Sesampainya disana kita sudah dihadang oleh beberapa sopir angkutan, kenek serta petugas keamanan stasiun ilegal (preman) kita sebut saja Satpam Ilegal. Beberapa dari teman yang sudah paham tabiat satpam ilegal itu langsung sigap untuk berbincang-bincang terkait misi perjalanan kami ke Bromo, sebagian dari kita melanjutkan laporan kepada Allah SWT di Masjid Agung Purbolinggo yang letaknya beberapa meter dari stasiun untuk salat asar dan magrib. Setelah lama bernegosiasi terkait harga per-orang untuk perjalanan ke Bromo akhirnya di putuskan setiap anak membayar 170 ribu, itu cukup murah dengan 2 malam menginap dan menyewa jeep menuju puncak serta kawah bromo.
Petualangan dimulai dengan menumpang angkutan kota setipe L-300 dengan penumpang 23 orang berdesakan namun cukup menyenangkan hehe. Sebelum menuju ke bromo kita disambut dengan ucapan selamat datang dari rekan Satpam ilegal berupa tradisi yang unik (hehe). Tidak terasa 1,5 jam lebih kita melakukan perjalanan meskipun dengan sopir yang seenaknya sendiri menyetir tanpa melihat seberapa berliku-liku belokan jalanan menuju kawasan bromo dengan jurang dimana-mana. Sekitar pukul 22.30 kita sampai dihotel dan disambut hawa dingin gunung bromo. Seketika itu alergi dingin yang kuderita mulai berteriak ingin keluar dari dalam diriku...teringat pesan teman cara mengatasi alergi dingin dengan membiasakan tidak menggunakan jaket untuk penyesuaian tubuh pada suhu dingin, akhirnya tubuhku berkompromi denganku.Yang paling membuatku kaget yakni hotel yang kita tempati lumayan bagus jauh dari perkiraan perjalanan kita yang berniat “Gembel” namun kenyataannya “Gembel Elit” dengan kamar mandi disetiap lantai serta spring bed sebagai alas tidurnya. Sebelum tidur kita memasak pop mie bersama-sama dan minum kopi untuk mengisi kekosongan perut.
                                  Di Balkon Hotel
Pukul 4 pagi kita dibangunkan untuk bersama-sama melihat sunrise dipuncak bromo dengan menaiki Jeep. Awalnya aku merasa yakin bisa untuk sampai puncak namun sesuatu yang tidak aku inginkan dan harapkan muncul, perut terasa tercabik-cabik dan mata berkunang-kunang seperti kejadian beberapa tahun lalu di SMA setelah lari 3 putaran lapangan menghantuiku. Aku tahu kondisi tubuhku, aku tahu keadaan fisikku yang tidak bersahabat waktu itu, dengan berfikir dan memantapkan hati apabila aku melanjutkan perjalanan ke puncak akan merepotkan perjalanan teman-teman yang lain, Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti beristirahat menstabilkan semua organ tubuhku agar kuat sampai bawah...dalam benakku hanya berfikir “Janganlah membuat perjalanan menyenangkan teman-teman menjadi tidak bermakna karena aku”. 
                               Menuju Penanjakan
Setelah lebih dari 1 jam menstabilkan organ tubuh, aku bertemu dengan salah satu pendaki yang baik hati hanya bermodal sama-sama satu daerah yakni Yogyakarta dia menawarkan bantuan, dengan mendampingiku selama perjalanan ke bawah. Kita sedikit berbincang-bincang untuk mengenal satu sma lain, mereka adalah sekelompok pekerja Kontraktor WIKA yang sedang mengadakan liburan di bromo. Dengan gelas kecil minuman hangat berupa teh manis seketika tubuhku berkompromi lagi. Selanjutnya kita melanjutkan perjalanan ke kawah bromo...meskipun medannya lebih berat dari menaiki puncak...aku mantapkan hati dan tubuhku agar berkompromi untuk sanggup mendaki kawah bromo. Aku yakin bisa meski menahan rasa sakit diperut sesekali istirahat untuk meneguk minuman..setapak demi setapak aku menaiki tangga demi tangga dan akhirnya aku sampai kawah bromo...I can do it.Semula tidak percaya aku bisa menaiki dengan menahan tubuh yang tidak bersahabat, aku seketika terdiam mencoba merenung beberapa saat. Sungguh indah pemandangan dari kawah bromo dengan hamparan pasir yang berkelok-kelok sesuai arah angin, serta betapa kecil para pendaki kawah dari bawah...Keren..Keren..Keren hanya itu yang aku katakan dalam hati.
                  *Dibelakang asap Kawah Gunung Bromo*
Sekitar 1 jam kita berada diatas kawah bromo yang beberapa bulan lalu ber-erupsi sehingga mengakibatkan kawah bromo semakin dalam. Setelah berfoto-foto memutuskan untuk turun ke bawah karena jatah menyewa jeep sampai pukul 09.00 WIB. Kita bersama-sama turun dengan sesekali berfoto-foto, akhirnya sampai hotel serta aku mengetahui sebab dari tidak bersahabat tubuhku ini karena siklus bulanan seorang wanita. Baik seketika aku lemas dan mencoba menstabilkan tubuhku agar tidak lemah. Setelah tidur sekitar 2 jam tubuhku bersahabat kembali dan keinginan untuk jalan-jalan menyusuri kawasan bromo kembali terbesit. Bersama beberapa teman kita berjalan diarea hotel sambil sesekali berfoto-foto sambil menunggu sunsite dari salah satu bukit yang memiliki pemandangan bagus. Namun aku memutuskan untuk keluar dari kebersamaan teman-teman..menuju hotel tepatnya dilantai 2, keinginan untuk meyendiri merenungi apa saja hari ini yang sudah aku dapat di kawasan bromo...melihat  kawasan bromo yang dikelilingi perbukitan, hamparan kebun sawi, dan beberapa aktivitas penduduk sekitar. 
                        *Padang Ilalang di Bromo*
                        *Dibelakang itu Gunung Batok*
Sesuatu yang aku kagumi adalah ketika aku melihat pemandangan yang tidak lazim di dapat dari liburan lainnya yakni tepat di salah satu sudut aku melihat keserhanaan keluarga yang membuat penghangat ruangan dari tungku arang ketika di negara-negara maju sudah sejak lama mendesain rumah dengan pemanas ruangan namun di negara kita tetap melestarikan kearifan lokal tungku arang atau negara kita yang tertinggal ??, masing-masing pembaca memiliki jawabannya sendiri. 
                             *Kebersamaan Mecarica*
                       *Tampak Depan Pura 1 di Bromo*
                            Pintu Gerbang Pura
Melihat fenomena yaitu  kesabaran seorang kakak yang mengajari  adiknya membaca, menulis kira-kira berumur 9 tahun seorang gadis yang berstatus kakak mengajari adiknya berumur 6 tahun membaca, dibalik keterbatasan fasilitas yang mereka miliki antusias belajar mereka cukup tinggi. Aku hanya tersenyum dan memberikan acungan jembol pada si kakak dan si adik. Pendidikan itu penting selalu yang digembar-gemborkan Pemerintah, masyarakat dan itu benar adanya. Itulah perjalananku ke bromo yang aku maknai berbeda dari sudut pandang diriku. Disudut kecil Bromo aku menemukan siapa diriku yang sebenarnya dan apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

ZoNa KeaRiFan Lokal (Suku Baduy di ProvInsi Banten)

Suku Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih tetap mempertahankan karakteristiknya sampai sekarang. Terletak di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Perjalanan dimulai ketika aku diwajibkan untuk mengikuti KKL  III (Kuliah Kerja Lapangan ke III) yakni untuk meneliti kondisi sosial,bidaya,serta karkteristik fisik ataupun alam yang dihuni oleh suku baduy. 
                                 Foto dengan Baduy Dalam..
Awal Juni 2011 aku mulai perjalanan dari kota Yogyakarta sekitar pukul 15.00 kita berangkat menuju Jakarta. Teman duduk sebelahku yakni Riyantiningsih, selama perjalanan kita banyak mengobrol dan bersenda gurau dengan teman-teman 1 bus..tentu dengan teman MecaRica. Hal yang menjadi kenangan sampai sekarang yakni selama perjalanan kita selalu membuat bahan lelucon, yakni temanku yang bernama Gunandar. Dia selalu dijadikan objek tertawaan temanku satu kelas, meskipun dalam hati aku merasa kasian namun aku menikmati betul momen-momen bercanda tawa dengan teman 1 bus setelah 2 minggu kemarin kita bertempur melawan ujian semester. Malam tiba setelah lelah bercanda serta beristirahat di rumah makan untuk rehat sejenak akhirnya sedikit demi sedikit suara-suara teman mulai hilang karena mereka sudah pergi ke dunia impian. 
                                anak suku baduy laur
Sekitar pukul 08.00 kita sampai dikompleks suku baduy..sebagai ucapan selamat datang kita disuguhi tugu besar berada di tengah-tengah berupa patung masyarakat badui. Seketika itu kita menuju pendopo untuk meletakkan barang bawaan kita dan bersiap menjelajah perkampungan baduy. Disana kita disambut dengan antusias dan baik oleh masyarakat badui. Suku baduy dibagi menjadi 2 suku yakni baduy dalam dan baduy luar. Masyarakat baduy dalam terdiri dari 3 kampung, sedangkan baduy luar terdiri dari 11 kampung. 
                 Dibelakang ada lumbung Padi suku Baduy Luar
Selain itu terdapat banyak perbedaan dari mulai pakaian, jenis rumah, bahasa, dan kebiasaan sehari-hari yang cukup kontras pada suku baduy. Misalnya : baduy dalam :berpakaian serba putih dan tidak diperbolehkan menggunakan benang dari luar, dalam pembuatan rumah tidak menggunakan paku, tidak boleh menggunakan barang-barang dari luar intinya tidak boleh mengeyam modernisasi dan itu berkebalikan dengan suku baduy luar yang menggunakan pakaian hitam,,namun yang paling saya salut adalah baik baduy dalam dan luar mereka tidak menggunakan listrik untuk penerangan maupun kebutuhan sehari-hari. Mereka tetap menghormati adat istiadat dari nenek moyangnya yakni agama islam dengan aliran sunda wiwitan. 
                                      Cewek-Cewek Mecarica
Sudah 2 hari ini aku tidak melanjutkan tulisanku ini (hehe) saatnya untuk membuka memori kembali perjalananku dulu. Berbagai filosofi hidup aku dapatkan dari KKL IPS terpadu pada kesempatan ini. Hidup berdamai dengan alam. Mencoba untuk memahami dan bersahabat dengan mahakarya pencipta di Lereng Gunung....serta mensyukuri keagungan Tuhan yang menciptakan manusia di dunia ini bersuku-suku, memiliki adat istiadat,tradisi,pakaian, yang berbeda-beda sesuai karakteristik daerah sekitar. Dua malam aku disana mengajarkanku akan kesederhanaan dan keramahtamahan masyarakat Baduy dengan orang asing yang baru mereka temui. Pelajaran berharga yang terpenting dalam petualanganku ini yakni : Suku Baduy yang tidak mengenyam pendidikan tinggi dapat bersahabat dengan alam, sedangkan manusia lain yang berpendidikan tinggi mengetahui bahwa kerusakan alam berdampak pada kehidupan manusia dikemudian hari, tetap berusaha mengeksploitasi hanya untuk mempertebal pundi-pundi uang dengan sikap berperang dengan Alam. 

Mutiara Putih Pantai INDRAYANTI

Masih teringat di dalam benakku siang menjelang pagi yang begitu menggembirakan. Sekitar awal 2011 kita penghuni kos Gang Kamboja 16 B melakukan perjalanan yang menyenangkan. Kita cewek-cewek perkasa yang berjumlah 7 orang mengarungi medan perjalanan yang cukup buas(hehe LEBAY). Maksudnya perjalanan dari Jogjakarta menuju Pantai Indrayati yang eksotis di Kabupaten Gunung Kidul.

Perjalanan 1 jam kita lalui bersama sebelumnya rehat sejenak di rumah ana untuk mencicipi minuman (sebenarnya pgn merampok makanan dan minuman)hehe. Setelah mengobrol sebentar dengan kedua orang tua ana, kita melanjutkan perjalanan ke tujuan wisata yang sesungguhnya “PANTAI INDRAYANTI”. Pertama kali menginjakkan kaki kesan pertama disambut oleh Hamparan pasir putih yang bersih tanpa noda satupun. Inilah Pantai Indrayati yakni pantai yang masih virgin belum tersentuh peradapan manusia (lebay lg hehe). Maksudnya kebersihan di pantai ini sangat diperhatikan sampai-sampai ada tulisan yang berbunyi ‘DILARANG MEMBUANG SAMPAH DENDA 10.000”. larangan yang cukup menegaskan agar kita mencintai lingkungan..namun ada satu kesedihan yang ada dipikiran kita yakni ternyata Pantai ini adalah milik Pribadi bukan Pemerintah..What???kok bisa???. Tahu dch mungkin ada yang berkompeten menjawabnya. 
                                     Pantai Indrayanti
                                       Batunya Gedhe2
                                Lagi Liat Kamera Nh..

Kesedihan akan kepemilikan Pantai ternyata tidak menghalangi kami ke 7 Bidadari 16 B berenang dan foto-foto di Pantai tersebut. Saat itu hanya kita bertujuh dan petugas jaga pantai..jadi kita bisa bebas bergaya serta berenang sesuka hati..namun semakin siang..pengunjung semakin berdatangan. Tapi tidak menurunkan tingkat Narsis ke 7 bidadari...(hehe). Semakin lama air laut semakin tinggi sehingga mengubah pikiran kami untuk berhenti dan melanjutkan perjalanan ke Pantai selanjutnya dengan Basah Kuyup. Malu itu bukan ciri kita ber7, dengan percaya diri kita menuju pantai selanjutnya yakni Pantai KUKUP.
                              Mulai Basah Kuyup nh
 
Saat sampai kita disambut oleh angin laut yang membuat dingin tubuh karena kita yang masih basah kuyup. Tanpa berfikir panjang kita langsung menuju bibir Pantai dan Bernasis ria..(hehe). Setelah banyak ceprat-cepret..akhirnya kita merasa kelelahan dan memutuskan untuk mandi, salat dan pulang. Pulang dengan badan capek..aku berboncengan dengan Rina yang dengan perkasa menuju Jogja..salut untuk Rina yang ngebut untuk sampai di jOgja. 
                                      Pantai Kukup
                          Uh.. Dingin... kena hembusan angin laut
 
Kenangan yang aku bawa perasaan senang dan gembira berkumpul dengan teman-teman kos yang seperti keluarga sendiri bercanda serta kesedihan kita bagi bersama. Mutiara putih dari Pantai Indarayanti mengungkapkan akan kebersihan dan keindahan pantai Indrayati serta keputihan bersahabatan anak kos 16 B yang kelak menemukan nahkodanya sendiri-sendiri menuju masa depan dengan membawa impian yang berasal dari kos 16 B.